Login

Lost your password?
Don't have an account? Sign Up

Angan-Angan Ketahanan Pangan

Buat sebagian besar penduduk Indonesia, mengkonsumsi nasi sudah seperti keharusan yang harus dilakukan saban hari. Istilahnya, belum makan jika belum menyantap nasi dengan lauk pauknya.

Nasi seolah menjadi satu-satunya sumber karbohidrat yang harus dipenuhi. Roti, singkong, ubi bahkan mi instan bahkan sering kali hanya dianggap sebagai camilan atau kudapan, alih-alih asupan utama.

Nah, dengan konsumsi nasi yang begitu besar, sektor pertanian terutama pertanian padi, tentu menjadi hal yang krusial. Isu ini menjadi isu yang sensitif, bisa dipolitisasi dan mengganggu stabilitas nasional.

Sayangnya, kata stabil dari sisi volume produksi dan harga jual, justru masih jauh dari ideal. Produksi yang merosot karena faktor alam, bencana, harga jual yang melonjak sampai isu impor beras, hampir tiap tahun jadi lagu yang terus diputar dari kaset yang sama.

Pemecahan masalah ini pun acapkali terasa termporal, parsial dan cepat terlupakan ketika kondisi kembali normal. Padahal, patut diingat, kondisi alam Indonesia tak akan mendadak berubah. Dua musim akan terus silih berganti dalam setahun, dan para petani akan bekerja dalam cuaca apapun.

Khusus untuk pertanian padi, ada dua variabel lain yang jauh lebih mengkhawatirkan yang turut memengaruhi ketersediaan bahan pokok strategis secara signifikan, yakni pertumbuhan luasan lahan padi dan jumlah penduduk per tahun.

Badan Pusat Statistik mencatat, selama 2004–2019, penduduk Indonesia setidaknya bertambah 3,34 juta jiwa per tahun, atau rata-rata naik sekitar 1,33% per tahun dalam 15 tahun terakhir. Sebaliknya, dalam periode yang sama, luasan lahan sawah dan luasan panen terpantau berkurang tiap tahun, meskipun produksi padi tercatat meningkat tipis 0,41% per tahun.

Dari perhitungan ini, terlihat bahwa pertumbuhan jumlah penduduk tidak sejalan dengan jumlah dan kinerja lahan sawah padi, yang menjadi sumber pangan pokok masyarakat Indonesia. Rerata kenaikan produksi 0,41% tiap tahun rasanya kurang bikin legawa, karena kalah cepat dengan pertumbuhan jumlah mulut yang harus diberi makan.

Buktinya, harga beras tak jarang terpantau naik turun. Bahkan, beberapa kali kenaikan harga beras, cukup membuat ibu rumah tangga harus mengurut dada. Pernah, di Pasar Induk Beras Cipinang, harga beras jenis medium pada awal tahun 2018 mencapai Rp10.500 sampai Rp11.500 per kilogram (kg), jauh melebihi harga beras pada awal 2017 sekitar Rp 9.500. Di tingkat pengecer harganya bahkan bisa di atas Rp13 ribu per kg.

UU Ciptaker

Ironisnya, belum lagi selesai soal cetak sawah untuk memperluas lahan demi menggenjot produksi dan kestabilan harga, cita-cita ketahanan pangan nasional kembali mendapatkan ujian. Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2T1) Dwi Andreas Santosa mengatakan, saat ini ketahanan pangan nasional menghadapi persoalan dilematis yang datang dari UU Cipta Kerja yang mengatur sektor pertanian.

Ia melihat, perubahan beberapa UU sektor pangan dalam Omnibus Law, secara gamblang berlawanan dengan agenda swasembada pangan yang digembar-gemborkan sendiri oleh pemerintah. Andreas yang juga Guru Besar IPB ini menjelaskan, revisi UU itu menggeser definisi pemenuhan kebutuhan pangan dalam negeri.

Jika sebelumnya di pasal 1 ayat (7) UU No. 18/2012 tentang Pangan, disebutkan definisi ketersediaan pangan adalah kondisi tersedianya pangan dari hasil produksi dalam negeri dan cadangan pangan nasional, serta impor apabila kedua sumber utama tidak dapat memenuhi kebutuhan, hal tersebut kini berubah. Di UU Omnibus Law, definisi tersebut diperluas, menjadi ‘ketersediaan pangan adalah kondisi tersedianya pangan dari hasil produksi dalam negeri, cadangan pangan nasional, dan impor pangan’.

Omnibus Law pun memperkuat definisi umum itu dengan perubahan pada pasal 14 ayat (1) UU No. 18/2012 yang menyebutkan, sumber penyediaan pangan berasal dari produksi pangan dalam negeri dan cadangan pangan nasional, menjadi ‘sumber penyediaan pangan diprioritaskan berasal dari produksi pangan dalam negeri, cadangan pangan nasional, dan impor pangan’.

Sebelum diubah, pasal 14 ayat (2) UU No. 18/2012 sejatinya menjadi bumper yang memperkuat ayat sebelumnya. Kalimat ‘bahwa dalam hal sumber penyediaan pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum mencukupi, pangan dapat dipenuhi dengan impor pangan sesuai dengan kebutuhan’, membatasi impor hanya bisa dilakukan jika cadangan dan produksi pangan lokal tak mencukupi.

Tanpa ada keterangan yang menjelaskan sumber pangan mana yang mesti diprioritaskan, definisi yang kelewat umum ini berpotensi dimanfaatkan pihak-pihak tertentu untuk melakukan impor pada sembarang waktu. Ini karena beleid mengatur, sumber pangan impor, posisinya sejajar dengan sumber pangan dari dalam negeri.

“Padahal, keterangan penjelas itu dalam kebijakan UU sebelumnya ada,” katanya kepada Validnews, Jakarta, Minggu (22/11).

Gubahan beleid ini memang perlu dipertanyakan kembali ke pemerintah. Mana yang sebenarnya hendak dikejar dan didahulukan? Serius mengembangkan sektor pertanian demi peningkatan produksi dalam jangka panjang, atau mencukupi kebutuhan dalam jangka pendek?

Sebab untuk memenuhi permintaan yang melonjak sewaktu-waktu, impor tentu bukan jadi solusi yang harus terus diambil. Ketergantungan akan komoditas impor justru harus dikurangi, agar kita tak kian terlena, hanya bisa mengimpor dan melupakan produksi lokal. Pasalnya, ketahanan negara akan sangat tergantung negara lain

Asal tahu saja, BPS mencatat, rata-rata pertumbuhan impor beras Indonesia mencapai 81,13% per tahun, dengan volume 13.838 ton per tahun sepanjang 2004–2019. Rekor impor tertinggi dalam periode yang sama terjadi pada periode 2010–2011, dari 687.581 ton menjadi 2,75 juta ton.

Dwi Andreas Santosa – Dilematika Ketahanan Pangan Nasional Pasca Pengesahan UU Cipta Kerja

Indonesia tercatat konsisten mengimpor beras dengan jumlah besar dari Vietnam, Thailand dan China dalam 15 tahun terakhir. Masih dalam periode yang sama, pertumbuhan rerata nilai impor tercatat US$13,04 juta per tahun, dengan persentase pertumbuhan yang mencapai 89,04% setiap tahun.

“Harapan kami, pemerintah punya keinginan yang kuat untuk melindungi produksi pertanian dalam negeri, terutama pangan. Jadi, sudah pasti ini catatan khusus ketika pemerintah membikin peraturan di bawah UU Cipta Kerja,” kata Andreas.

Sementara itu, tekanan ketahanan pangan juga melebar tatkala pengalih fungsian lahan pertanian juga kerap terjadi. Kementerian ATR/BPN mencatat selama 2012–2019 tidak kurang luas lahan baku sawah menurun sebesar 8,21% atau sekitar 668.396 hektare menjadi kisaran 7,46 juta hektare di seluruh Indonesia. Sudah pasti hal ini pun perlu menjadi perhatian pemerintah pusat.

“Upaya apa yang harus dilakukan untuk melindungi peralihan lahan pertanian ke non-pertanian ini?” ujarnya.

Data Tetap Penting

Khusus pertanian padi, lanjut Andreas, kejelasan data memang modal utama yang harus diperhatikan. Bahkan dalam kondisi tertentu ketersediaan komoditas beras menjadi titik nadir terhadap stabilitas politik di penjuru negeri.

Maka ia mengapresiasi betul, jika data perberasan nasional diasuh sepenuhnya oleh BPS. Apalagi arahan tersebut langsung turun dari presiden. Tingkat keakuratan data BPS pun dinilai lebih bertanggung jawab dan baik.

“Hasil datanya sudah jauh lebih baik dan bisa dijadikan dasar yang relatif akurat untuk menetapkan kebijakan pangan di Indonesia,” imbuhnya.

Sebelumnya, saat dipegang Kementerian Pertanian, data beras selalu simpang siur karena ada disparitas koleksi data yang dikumpulkan Kementerian Pertanian di bawah kepemimpinan Amran Sulaiman. Hal ini juga yang membuat Andreas percaya diri hingga 2021 nanti Indonesia tidak perlu mengimpor beras.

“Walaupun ada simpangan-simpangan, tapi relatif kecil antara data yang dikeluarkan dan kondisi riilnya sehingga bisa menjadi acuan untuk menetapkan kebijakan yang lebih baik terkait dengan pangan,” ujarnya.

Selain itu, ia berharap juga pemerintah terus mengoptimalkan dan mendukung fungsi penelitian dan pengembangan pertanian secara mumpuni. Pemberian fasilitas yang sesuai, dapat berdampak besar dan positif terhadap pertanian nasional.

“Pengamatan kami, hambatan terbesarnya adalah bagaimana cara sosialisasi serangkaian hasil penelitian sehingga bisa diterapkan petani,” cetusnya.

Sejauh ini, ia merespons positif berbagai varietas yang jumlahnya mencapai lebih dari 100 jenis benih yang bisa digunakan petani. Apalagi organisasi independen, pemerintah, perguruan tinggi juga turut melakukan hal yang sama.

“Seperti kami di AP2TI, kami juga melepaskan varietas-varietas terbaru dengan produktivitas sangat tinggi, beberapa di antaranya lebih tinggi dari varietas yang dilepas pemerintah,” seru Andreas.

Dalam tataran teknis yang lain, Andreas juga meminta pemerintah mampu memantau, sekaligus memperbaiki irigasi di areal persawahan secara berkelanjutan. Apalagi keberadaan irigasi adalah kunci penentu hasil pertanian. Urusan irigasi tak bisa diserahkan kepada petani.

“Mungkin kalau irigasi cacing di tingkat usaha tani oke lah, tapi beragam irigasi lain harus betul-betul dipantau terus oleh pemerintah,” tegasnya.

Ketua Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (Pataka) Yeka Hendra Fatika menilai, upaya pemerintah membangun banyak bendungan akan efektif untuk produksi pertanian jangka panjang di Tanah Air. Meski begitu, ia mengingatkan, harus dilihat lagi peruntukan saluran irigasi yang hendak dibangun.

“Jangan-jangan justru untuk memasok industri, perumahan, air minum, dan lain-lain. Padahal, irigasi ini akan efektif untuk jangka panjang, kendati dalam jangka pendek belum bisa terlihat,” tuturnya.

Ia sendiri melihat, masih banyak saluran irigasi potensial yang belum dimanfaatkan secara maksimal. Seperti irigasi yang berada di Jati Gede dan Kupang yang justru kekurangan debit air. Irigasi tersier atau irigasi yang mengairi areal persawahan sekarang juga banyak mengalami kerusakan.

“Kalau tidak salah Ditjen SDA mencatatkan 50% irigasi tersier itu rusak. Jadi selain membangun embung, sebaiknya juga diperbaiki saluran irigasinya,” jelas Yeka.

Yeka menegaskan, melihat kondisi tersebut, harus ada manajemen pemeliharaan saluran irigasi. Perbaikan tanpa pemeliharaan, akan berujung pada pertumbuhan semak belukar yang merusak. “Artinya kita juga harus menguatkan manajemen pemeliharaan di samping memperbaiki irigasi itu,” pungkasnya.

Upaya dan Antisipasi

Boleh dibilang, yang saat ini dilakukan pemerintah adalah mengembangkan sektor pertanian, sembari memenuhi kebutuhan pangan secara bersamaan. Barangkali, jika kedua wacana itu dikerjakan satu per satu, bakal memakan waktu lebih lama, dengan hasil yang belum tentu memuaskan pula. Sementara, kebutuhan pangan penduduk mustahil berjeda.

Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kemenko Bidang Ekonomi Musdhalifah Machmud mengatakan, pemerintah memang senantiasa menjamin ketersediaan pangan, terutama kecukupan pasokan beras domestik. Jumlahnya menyesuaikan hasil kajian FAO, yakni kisaran 1-1,5 juta ton beras.

Hasilnya, selama pandemi tidak terjadi gejolak harga beras atau harga pangan utama. Harga komoditas lain pun relatif stabil. Meskipun ia juga mengakui, dalam kondisi pandemi seperti sekarang, pelemahan permintaan juga mempengaruhi kondisi dan gejolak pangan dalam negeri.

“Produksi yang selama ini memang sudah tersedia, baik dan cukup itu bisa menjaga harga. Sehingga tidak memberatkan masyarakat kita yang mengalami kesulitan karena penurunan daya beli,” ujarnya kepada Validnews, Senin (23/11).

Musdhalifah juga yakin, ketahanan pangan nasional sepanjang 2020 bakal aman terkendali. Apalagi Kemenko Bidang Perekonomian dengan kementerian terkait, terus mengupayakan agar pangan tersedia memadai.

“Evaluasi juga dilakukan Kementan terhadap beragam kebutuhan pangan utama kita, seperti beras, jagung, bawang, cabai, dan lainnya,” imbuhnya.

Terkait impor pangan yang melambung tinggi pada 2018, ujarnya, juga berkaitan erat dengan proyeksi pemerintah untuk mengamankan kondisi politik nasional. Hal tersebut agar tidak menimbulkan gejolak terkait pangan.

Dia meyakinkan, pemerintah masih berprinsip memenuhi kebutuhan pangan seoptimal mungkin dengan memprioritaskan produksi domestik. Sementara impor, hanya diputuskan dalam kondisi terbatas untuk menghindari kelangkaan kebutuhan pangan di pasar.

“Penelitian FAO, setiap kenaikan 1% harga menyebabkan pertambahan masyarakat di bawah garis kemiskinan naik 300.000 jiwa,” ujarnya.

Sementara itu, Kepala Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian atau PSEKP Kementan Sudi Mardianto mengatakan, secara umum kinerja pertanian pada 2020 tetap tumbuh positif meski diterpa pandemi. Selain didukung iklim kondusif, Kementan juga berupaya melakukan serangkaian langkah terobosan untuk menjaga petani tetap dapat melaksanakan usaha taninya dengan nyaman.

“Program jaring pengaman sosial diarahkan untuk membantu daya beli petani sekaligus memperbaiki dan membangun infrastruktur pertanian, serta memberikan kontribusi terhadap produksi padi,” katanya kepada Validnews, Senin (23/11).

Selain itu, program percepatan luas tanam dan perluasan areal tanam baru juga menjadi pendorong peningkatan produksi padi dan jagung. Program bantuan benih, alat mesin pertanian atau alsintan, dan pendampingan penyuluh juga menjadi pendukung keberhasilan produksi hortikultura dan perkebunan.

Kementan, lanjutnya, akan berkeras mempertahankan capaian positif 2020 hingga 2021. Berbagai program telah dipersiapkan sejak kini untuk memastikan produksi pertanian tetap tumbuh positif.

“Salah satunya pengembangan Food Estate di beberapa wilayah, seperti Kalimantan Tengah, Humbang Hasundutan, Sumatra Selatan, dan beberapa daerah lain,” ujarnya.

Selain itu, program perluasan areal tanam baru juga menjadi andalan untuk memastikan agar produksi pangan strategis dapat dipenuhi dari produksi domestik. Kementan, imbuhnya, saat ini dan pada masa mendatang akan lebih fokus pada optimalisasi pemanfaatan lahan pertanian yang sudah ada, atau istilahnya intensifikasi.

Oleh karena itu, kata dia, dukungan teknologi mutakhir menjadi salah satu strategi untuk mengoptimalkan sumber daya lahan dengan beragam karakteristik, misalnya lahan rawa dan lahan kering. Badan Litbang Pertanian sendiri, terus mengembangkan varietas padi yang toleran terhadap berbagai cekaman abiotik, seperti kekeringan, salinitas, dan rendaman.

“Khusus kedelai, varietas tahan naungan menjadi salah satu kunci untuk mendukung produksi kedelai domestik,” katanya.

Usaha apapun yang dilakukan, ada upaya lain yang kadang terlupakan, yakni diversifikasi pangan. Pemerintah harus bisa aktif dan giat mendorong konsumsi pangan pokok selain beras. Dengan begitu, gap antara pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan produksi padi, bisa diisi oleh singkong, ubi, hingga sukun. (Rheza Alfian, Fitriana Monica Sari, Yoseph Krishna, Khairul Kahfi, Zsazya Senorita)

Sumber

Leave a Comment